SELAMAT DATANG

Welcome To My Blog, I Hope You Are Interested and Enjoy It With Me. Certainly, We Can Learn To Each Other. Hehehe...
Diberdayakan oleh Blogger.

Minggu, 30 Mei 2010

Bingung Mau Menulis Apa

BINGUNGGGGGGG
Oleh N.Dini H



Bingung mau nulis apa, tapi ingin nulis. payah. Karena sebenarnya banyak sekali hal yang bisa kita tulis, hanya kita tidak bisa mengungkapkannya dengan kata kata dalam sebuah selembar kertas. Menulis kan sama dengar berbicara. Kakau kita nberbicara langsung bisa tanpa terasa sampai berbusa busa, yang mendengarkannya pun sampai membatin : kapan selesainya berbicara ini orang, capek mendengarkannya. Nah ! berbicara mudahnya pol. Apalagi jika sudah pada tahap ngerumpi. Ngomongin tetangga, ngomongin sinetron, ngomongin buanyak hal, dibilang biang gosip, enteng!.sampai sulit disetop.Tapi jika pembicaraan sudah dituliskan ke dalam kertas. Langsung, KLAKEP !! bisa samapi berjam jam hanya ndongong didepan layar komputer. Hebat kan? jangan meremehkan ndongong yang seperti ini, ndongong untuk bisa menulis kan juga suatu upaya untuk produktif. Tidak sama dengan ayam yang bila kebanyakan bengong berarti pertanda kita mau makan enak, harus cepat cepat disembelih sebelum almarhum.
Belajar menulis saja sampai sebegitu sulitnya. bisa membuat satu tulisan saja, kita merasa keren sekali.agak besar kepala. Ue, ternyata hanya begitu saja. Mana sulitnya? Cobalah kirim ke sebuah redaksi media masa, kemungkinan besarnya DITOLAK. Mana kita tau selera para redaktur jika tidak pernah membaca medianya. Baca korannya belum tentu seminggu sekali, kok braninya kirim artikel. Salah alamat bila kita mengirimkan artikel tentang bina keluarga balita ke majalah Trubus. Alamak, mana pernah akan dimuat. Begitu nartikel samapai di meja redaksi, baru dilihat judulnya saja, tanpa basa basi, maaf maaf saja, sanng redaktur akan membuangnya ke keranjang sampah.Masuk Recycle Bin. Makanya kita memang dituntut untuk harus sesering dan sebanyak mungkin membaca dan membaca
Padahal Ahmad tohari yang empunya dongeng Ronggeng Dukuh Paruk mengatakan bahwa jika kita sering membiasakan diri untuk menulis, maka ibarat pisau yang diasah setiap hari. Yang tumpul menjadi tajam, yang tajam jadi semakin tajaaam. Beliau saja jika menulis sebuah artikel hanya memerlukan waktu 1 – 2 jam saja. Saking entengnya membuat tulisan,Tidak pake lama. Bahkan yang ingin menungguinya menulis dipersilahkan untuk datang ke rumahnya di banyumas sana. Si Andrea Hirata bapaknya laskar pelangi, samapi kebingungan duit hasil menulis dan filmnya mau diapakan saja. Saking banyaknya. Hebat tho? Muantep Tho? Sama seperti mbah Surip duitnya sehoha hasil ngamen sampai mati kecapean nggendongi siempunya ring back tone. Mungkin saja meninggal karena kebingungan punya uang yang untuk menghitung satu persatu sudah bikin mampus kecapekan.
Intinya hidup adalah pilihan. Jika batin kita cocok di dunia kepenulisan, why not? The show must go on ! asal untuk tahu saja, menulis ngalor ngidul begini, tidak ada artinya untuk pengajuan angka kredit, apalagi untuk sertifikasi guru. Tidak ada nilainya, sebab tidak sesuai dengan bidang study yang dimiliki penulis. Ini yang diukatakan bapak dirjen LPMP di semarang sewaktu seminar menulis yang diadakan oleh Agupena Jawa Tengah. Kenyataan memang tidak mengenakan. Membuat semangat menulis jadi semangit. Layu sebelum berkembang. Beberapa saat memang menjadikan malas menulis. Buat apa menulis jika tidak ada pengharapan apa-apa. Karena awal tergerak untuk menulis ya sebab ada sesuatu yang bisa diperoleh, minimal tambahan angka kredit bagi guru yang masih bergolongan rendah ini. Apalagi sekarang lagi digembar gemborkan guru harus bisa menulis. Guru harus rajin membuat tulisan. Guru yang profesional adalah guru yang pintar dalam dunia kepenulisan. TAPI, tidak bisa nulis sembarang nulis, harus sesuai dengan latar belakang keilmuannya. Tantangannya lebih berat lagi nih. Menulis asal asalan saja masih empot empotan, malah ditantang untuk menulis bak pakar ekonomi, pakar matematika, dan pakar pakar yang lain.berrarti sia sia selama ini menulis tentang emansipasi wanita, tentang kenakalan remaja di sekolah, tentang bagaimana belajar tentang kehidupan, wong basic penulis adalah guru ekonomi. Semangat jadi semangit. Yang besar kepala jadi mungkret lagi.Tiada guna tulisanku!
Tapi, setelah seberapa lama absen tidak menuliskan sesuatupun, kok rasanya juga ada sesuatu yang kurang. Rasanya masih tetap ingin menulis, walaupun entrah apa saja yang ditulis. Jadi mungkin juga ini yang dirasa Pak Dhe Ahmad Tohari, kalau tidak menulis pegal pegal semua badan.ada sesuatu yang meledak ledak dari dalam diri. Sesuatu yang yang siap dimuntahkan dalam waktru sekerjap. Walau belum sampe ke tahap separah itu,tapi rasa kangen menulis ada juga terasa.akhirnya ya beginilah, tidak peduli tulisan ini bagus atau tidak, dimuat di media atau tidak, berguna untuk pengajuan angka kredit atau tidak, mbuh lah. I Dont Care. Yang penting hasrat menulis tersalurkan. Ya siapa tahu, dengan dengan menulis yang entah apa ini, bisa menjadi suatu tulisan yang lama lkelamaan bagus dan semakin lama semakin bermutu,sukur sukur bisa menjadi pakar ekonomi bak Sri Mulyani. Tapi, kalau tidak pernah menulis tentang ekonomi? He he he, menulis, apapun itu ternyata I LOVE YOU FULL, macam mbah surip saja.

Senin, 24 Mei 2010

Belajar Menghargai Khidupan

BELAJAR MENGHARGAI KEHIDUPAN


Ketika kita berinteraksi dengan berbagai media baik cetak maupun elektronik, akan terekam dengan jelas bahwa ada banyak kecelakaan di mana mana, di darat, di laut maupun udara; kecelakaan berbagai moda transportasi maupun ”kecelakaan dalam kehidupan umumnya”.

Kita masih ingat akan tragedi kecelakaan pesawat, kereta api, kapal laut beberapa waktu silam serta lumpur Lapindo yang tidak kunjung ada titik penyelesaian. Semuanya bahkan menelan korban puluhan danratusan jiwa melayang. Memang kecelakaan tidak terlepas dari faktor meningkatnya aktivitas para pengguna lalu lintas, sehingga menambah keramaian dan kepadatannya. Namun, semata-mata menyalahkan faktor itu sepertinya lebih cenderung mengedepankan rasionalitas semu yang tidak bersikap dewasa. Berdalih dengan gaya rasional yang sejatinya cuma menegaskan pembenaran bagi dirinya sendiri sekaligus merupakan penolakan terhadap kesalahan diri sendiri atas ketidaksempurnaanya. Kegamangan Pemerintah untuk menyiapkan moda dan sarana angkutan yang layak secara teknis sekaligus membenahi manajemennya merupakan faktor kunci yang belum direspon secara memadai.

Juga kecelakaan ”kecil” berupa bunuh diri massal dalam keluarga maupun perseorangan yang terkadang dipicu oleh sebab yang bisa dianggap sepele. Nunggak bayar SPP dan bisa menjadikan seorang anak merasa malu besar dan memutuskan untuk menyelesaikannya dengan cara bunuh diri. Dalam kaitan ini, menggambarkan bahwa sebagian warga bangsa kita dalam posisi mental dan kejiwaan yang rapuh sehingga

Sedemikian tingginya berita tentang kecelakaan dan tragedi memilukan lainnya, membuat orang menganggap sebagai sebuah berita yang ringan dan tidak perlu dipersoalkan. Apalagi jika kita sedang menghadapi Lebaran,natal ataupun liburan tahun baru. Biasanya, banyak serentetan kecelakaan yang terkadang menelan korban jiwa yang tidak sedikit jumlahnya.Biasanya pula kita menanggapi dengan enteng hingga kemudian berita tersebut blowing in the wind, hilang begitu saja tersapu angin dan terlupakan. Bukankah ini cermin bahwa kita masih belum bisa menghargai kehidupan atau sebuah bentuk ketidak berdayaan yang berujung pada sebuah kepasrahan ?

Hingga kecelakaan datang menimpa berulangkali, tetap saja kita tak bergeming,untuk belajar dari lebih berhati hati dan memahami segala hal yang berkaitan dengan kecelakaan tersebut.Tak aneh jika kemudian kita terbiasa mendengar kecelakaan ini itu dengan perasaan enteng karena begitu seringnya terjadi dan terjadi lagi tanpa pernah kita mengoreksi diri sendiri untuk lebih menghargai kehidupan.Bahwa kehidupan perlu dihargai sekecil apapun maknanya bagi kita.
Jika kita cermati secara jujur, keseluruhan fenomena sebagaimana disebutkan diatas merupakan cerminan keengganan manusia untuk belajar hingga suatu kejadian harus terus berulang terulangnya kejadian masa lalu yang tidak menyenangkan terjadi di masa yang akan datang. Kita akan menjadi bangsa yang bebal, keras kepala di tengah ketidakbenaran,menolak kritik maupun bantuan perbaikan, mencari kambing hitam dan terus menerus berada dalam jalur yang salah.

Fenomena malas belajar, dimanapun berada sungguh suatu hal yang menyedihkan, memprihatinkan dan tidak menyenangkan. Sama seperti guru yang setiap hari menyaksikan anak dan muridnya malas belajar.Jika ini terus berlanjut tanpa adanya perbaikan,bukan tidak mungkin akan mengarah pada sikap dan tindakan fatal yang terangkum dalam sikap dan tindakan yang kurang menghargai kehidupan.
Nurani yang kurang menghargai kehidupan adalah sebuah persoalan besar.Keberadaban dan kehidupan suatu bangsa tidak akan bertahan lama jika warganya tidak menghargai kehidupan. Suatu bangsa berdiri untuk menyokong dan menumbuhkembangkan kehidupan.Jadi jika warga bangsa tersebut tidak bisa menghargai kehidupan itu sendiri, maka akan sirna dan ambruklah bangsa tersebut.Hilanglah suatu peradaban dengan sia sia. Blowing in the wind!

Kita,sebagai bangsa Indonesia,tentu tidak sudi jika sesuatu terjadi dengan bangsa ini.Yang telah susahpayah dibangun oleh para pendahulu kita,sirna dan tenggelam begitu saja. Sudah saatnya kita merenung,koreksi diri untuk kemudian menghapus keengganan belajar dari kesalahan, kekurangan dan ketidaksempurnaan,hingga akhirnya tiba pada pencapaian menghargai kehidupan itu sendiri.

Jadi, marilah kita beramai ramai untuk menggiatkan belajar putra putri kita, bahkan kita sendiri dimanapun kita berada.Apalagi di bangku sekolah. Meningkatkan prestasi putra putri tunas bangsa harapan negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa,memberantas kebodohan meraih masa depan gemilang. Membawa nama baik bangsa dan meningkatkan kualitas kebangsaan kita. Bangsa yang agung, bangsa yang mempunyai peradaban yang luhur, bangsa yang menghargai kehidupan. Bagaimana pendapat anda ?

Sabtu, 22 Mei 2010

adakah yang salah dengan pendidikan kita?

ADAKAH YANG SALAH DENGAN PENDIDIKAN KITA ?

Merekam jejak perjalanan bangsa ini, pembaca mungkin setuju jika berkesimpulan ada sesuatu yang tidak beres yang sedang terjadi. Kita tentu mendengar atau bahkan mengikuti kasus kasus besar di negeri ini.Belum selesai kita terperangah ketika mengetahui bangsa Indonesia dipercaya sebagai negara yang korup nomor satu di Asia, seolah sedang melihat buktinya.Gayus terseret dalam kegelimangan harta korupsinya, padahal sudah menerima remunerasi. Celakalah bagi kita, para pegawai daerah, yang belum sempat menerimanya. Alih alih menikmati indahnya tambahan penghasilan dikeseharian yang sudah kembang kempis, masyarakat sudah berteriak untuk meminta peninjauan ulang remunerasi. Namanya : Apes !
Diluar itu, kita juga menyaksikan wakil rakyat yang terhormat saling bertikai dalam sidang, anak anak pelajar gemar tawuran, para mahasiswa gemar berdemo secara berlebihan, terakhir ketika kita kita disuguhi tontonan tawuran massa dalam kasus Mbah Priok, yang menelan korban aparat satpol PP. Padahal dalam keseharianpun, tayangan tayangan yang tidak mendidik dalam sinetron kita menambah lengkap carut marutnya negeri ini. Bagaimana seorang siswa mau menghormati guru, jika dalam sinetron favoritnya, guru hanya sekedar sebagai pelengkap penderita, yang mempunyai kesan tidak punya wibawa sama sekali. Siswa dalam sinetron, bahkan tidak pernah memakai baju seragam sekolah secara benar. Siswa yang ingin menjahitkan bajunya dengan benar justru diberi masukan oleh sipenjahit untuk membuat model baju yang sesuai dengan yang ditelevisi. Juga, bagaimana bisa berbahasa dengan baik dan benar, jika dalam keseharian televisi bahasa gaul merajalela, dan bahasa “reketek reketek” jadi idola.
Kriminalitas juga merajalela. Tidak terkecuali di Purbalingga. Perampokan toko emas yang berlangsung siang menjelang sore, merupakan bukti bahwa masyarakat sudah tidak terlalu takut dengan lembaga hukum yang ada. Lha wong polisi yang sedang jaga malam saja bisa mati terkena petrus. Kalau dulu petrus ada dengan dalih untuk keamanan negeri, sekarang justru petrus mengancam lembaga hukum kita. Mengerikan. Ironi.
Hati hati pula terhadap teman dekat yang sewaktu waktu bisa menjadi serigala pembunuh tanpa perasaan.Ini kasus pembunuhan bidan di Purbalingga. Atau, beberapa tahun belum lama, tiga orang anak Purbalingga usia tanggung,dalam keadaan mabuk membunuh seorang PSK yang telah mereka pakai beramai ramai, dan jasadnya digeletakan begitu saja di depan sebuah pom bensin Karanganyar. Orang besar melakukan kejahatan “terhormat”, orang kecil melakukan kejahatan keji. Terakhir , korban miras oplosan spirtus di Salatiga yang mencapai 300an orang.Sebuah angka yang fantastis untuk ukuran kota kecil.Ternyata masyarakat muda sudah akrab sekali dengan miras. Bagaimana dengan Purbalingga, semoga jauh…
Disatu sisi, ada juga orang yang hobi mencari cari kesalahan orang lain..Mencari celah ketidaksempurnaan seseorang dalam beketja. Sehingga orang orang yang bekerja, khususnya di instansi pemerintah, di era keterbukaan sekarang ini justru merasa tak nyaman dalam bekerja ketika dibayang bayangi pengadilan dan penjara di depan mata. Karena, sejatinya kebenaran bersifat relatif. Kebenaran di masa lalu, bisa menjadi suatu kesalahan dimasa pemerintahan sekarang. Ini adalah contoh yang keluar dari argumentasi Sri Mulyani tentang kasus Bailout Bank Century.
Merunut benang merah dari sedikit kasus diatas, ada yang terlintas dalam nurani. Sedikit banyak, ini adalah hasil didikan kita sebagai guru. Betulkah kita sudah mendidik mereka secara benar? Ketika mengajar mereka, belasan tahun kemudian, mereka menjelma menjadi orang orang yang tidak membanggakan.Kriminal,Sopan santun kurang, saling menghormati menjadi hal yang langka,selalu merasa dirinya yang paling benar, korupsi, saling jegal, menjadi keseharian.Memang, yang berulah adalah oknum, tetapi mengapa terlalu banyak oknum? Krisis etika terjadi dimana mana di semua lini. Adakah yang salah pada dunia pendidikan kita? Mengingat para pelaku sedikit banyak termasuk dalam golongan orang orang yang “makan bangku sekolah”.
Idealnya misi pendidikan adalah mengembangkan kepribadian yang kokoh dan membentuk karakter yang kuat. Keluarga, lembaga sekolah, dan lembaga sosial adalah tiga pilar utama dalam pendidikan. Karakter kebangsaan yang khas seperti norma dan tata nilai, perilaku dan adat istiadat, kesantunan, keadaban dan budi pekerti, jika tertanam dengan baik akan menghasilkan bangsa yang arif dan selalu dapat menghargai perbedaan.
Pendidikan yang hanya mengedepankan kepandaian, kecerdasan dan ketrampilan tidak akan ada gunanya tanpa membekali siswa dengan penanaman nilai moral dan karakter.
Dalam hal ini, adalah sangat setuju jika pembelajaran bahasa lokal, bahasa jawa kita , lebih diintensifkan lagi. Dalam berbahasa jawa terdapat nilai nilai tatakrama, sopan santun, unggah ungguh, yang pada akhirnya bisa memperhalus rasa budi pekerti seseorang. Kecenderungan yang ada, anak tidak bisa berbahasa jawa halus, karena orangtuanya kurang menguasai, sehingga mengambil jalan pintas untuk memakai bahasa Indonesia yang lebih mudah.Salut pada SMA PGRI Gumelar Banyumas yang telah menerapkan kebijakan sehari dalam seminggu seluruh penghuni sekolah diwajibkan “Full” berbahasa Jawa. Bukan menafikan bahasa nasional kita, akan tetapi kemampuan olah kata dalam bahasa jawa yang mempunyai tingkatan ngoko, ngoko alus, kromo, bisa menjadikan seseorang lebih terasah kemampuannya untuk bersopan santun dan berunggah ungguh kepada lawan bicara. Jika etika sudah berbicara, maka kita tak perlu lagi menyaksikan acara “Susno bernyanyi”, berkelahi di arena persidangan atau “eker ekeran” kasus Bank Century.Teror tak ada tempat di negeri ini.
Tapi Bahasa Jawa bukan satu satunya faktor penentu dalam keberhasilan pendidikan. Masih banyak faktor lainnya yang tak kurang pentingnya. Menyitir pendapat Abu Su’ud tentang perlunya pendidikan budaya/cultural learning atau yang beliau sebut sebagai Teaching With Love. Pendidikan yang diharapkan adalah mengenalkan aspek budaya yang ideal. Yaitu mendidik anak dengan mengembangkan watak bangsa yang selektif. Generasi tua harus dengan tulus hati mengomunikasikan seluruh tata nilai ideal bangsanya dengan penuh kejujuran dan integritas yang tinggi. Generasi muda selalu diarahkan untuk menangani kondisi masyarakat didepan yang dicitacitakan. Semua nilai tersebut bukan hanya sekedar di informasikan dan diterima begitu saja, melainkan dihayati dan diamalkan sepanjang masa dalam semua aspek kehidupan.
Peran guru, sesuai dengan pasal 3 Undang undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan nasional. Mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.Tetapi harus disadari sebagus apapun undang undang yang dimiliki bila berada di tangan pelaksana yang salah, maka reformasi mental yang kita idam idamkan tidak akan berhasil dengan baik.
SMS yang didapat dari guyonan teman, bahwa himbauan dari Mendiknas dan Menkes untuk waspada terhadap 11 penyakit yang rentan diderita guru, diantaranya adalah : 1. TIPUS, Tidak Punya Selera (mengajar). 2. MUAL, Mutu Amat Lemah, 3. KUDIS, Kurang Disiplin 4. ASMA, Asal Masuk kelas. 5.KUSTA, Kurang Strategi, 6. KURAP, Kurang Akrab 7. TBC, Tidak Bisa Computer 8. ASAM URAT, Asal Sampaikan Materi Urutan Kurang Akurat, 9. LESU, Lemah Sumber 10. DIARE, Dikelas Anak Rame 11. GINJAL, Gaji Nihil, Jarang Aktif, Lambat.
Sebagian besar diantara kita mungkin tidak menyadari bahwa kegiatan belajar mengajar selama ini mengalami kemunduran. Belajar di sekolah menjadi sesuatu yang membosankan, statis dan stressfull. Jika melihat situasi di sekolah,sebagian anak anak kuyu, mengantuk, bosan,malas dan tidak termotivasi.Bahkan siswa siswa yang masuk program akselerasi terancam terkena psikosomatik karena beratnya beban sekolah. Disisi lain,guru mengajar dengan materi yang sama dari tahun ke tahun, catatan yang sama,banyak materi hafalan, gaya mengajar tidak berubah, standart, formal dan kaku. Bahkan Indonesia kalah dengan Malaysia yang notabene mereka dahulu justru belajar ke Indonesia.Sekarang, Kalau mau,Malaysia masih bisa belajar pada Indonesia setidaknya tentang cara mendapatkan stempel sebagai negara terkorup di Asia.
Walau sekedar joke, tetapi jika 11 penyakit ini berhasil dihindari oleh para guru, maka belasan tahun yang akan datang kita sudah bisa memetik hasilnya. Tak akan ada lagi kerusuhan di negeri ini. Tak akan ada lagi rangking 1 korupsi. Tak ada tetoris yang bom sana bom sini di halaman Indonesia. Pengembangan karakter dan kepribadian unggul benar benar tercipta bukan sekedar impian kosong yang terpahat di menara emas. Kelihatannya sangat indah.Semoga…..

hamil di luar nikah

Hamil pada saat sekolah, siapa yang harus salah ?

Tahun telah berganti, Desember 2006 baru saja berlalu. Tentu saja ada banyak kenangan di sepanjang 2006 yang masih lekat diingatan kita, yang juga mungkin tetap menjadi persoalan kita di tahun 2007. dalam halini, salah satu masalah sensitif, yang belum sepenuhnya terbuka dan tabu untuk dibicarakan apalagi didiskusikan dalam forum-forum resmi adalah kenyataan masih banyaknya kejadian kehamilan pada usia sekolah. Peristiwanya terus mengalir bagaikan bola salju yang menggelinding tanpa henti, sedangkan data kongkritnya seperti guning es, sedikit yang terkuak namun lebih banyak lagi yang ditenggelamkan. Kalau ada married by accident, sudah bisa dipastikan diawali dengan kejadian kehamilan yang tidak diharapkan. Yang lebih mencengangkan lagi, sebagaimana pernah dilansir oleh sebuah sebuah harian terkemuka disebutkan bahwa kejadian kehamilan pra nikah siswa perempuan SMP-SMA mengalami kenaikan sebesar 15 %. Terhadap masalah ini, orang tua akan malu, pihak sekolah akan memaksa yang bersangkutan untuk ” mengundurkan diri dari sekolah” supaya tidak ikut kebagian malu, masyarakat hanya bisa ngelus dada, tokoh agama pun ikut prihatin. Kalau sudah demikian halnya, siapa yang patut dipersalahkan ?

Tentu saja fenomena ini sangat menarik untuk kita kaji secara lebih mendalam, karena didalamnya tidak saja menyangkut rendahnya pemahaman seksual generasi muda, namun yang lebih utama adalah bukti kongkrit adanya dekadensi moral, rendahnya penghayatan nilai-nilai keagamaan dan berarti pula ”gagalnya seorang ibu ?” dalam menggembalakan putra-putrinya. Pendapat ini nampaknya disandarkan pada ”kesepakatan sosial” bahwa salah satu tugas ibu yang sangat mendasar adalah mengantarkan putra-putrinya menjadi anak bangsa yang berpendidikan, bermoral dan bermasa depan gemilang

Selama ini, jika terjadi kehamilan pada siswa putri, pihak sekolah cenderung lepas tangan, bahkan cenderung memojokan. Dengan dalih melanggar aturan sekolah, siswa yang bersangkutan akan diminta secara sukarela mengundurkan diri dari sekolah. Padahal persoalannya tidak semudah itu. Terjadi bias gender disini, karena selalu pihak perempuan yang dijadikan korban. Adanya kehamilan pada siswa perempuan, pada hakekatnya tidak semata mata kesalahan pihak perempuan. Siswa perempuan hamil adalah fakta. karena mereka adalah seorang perempuan yang memang secara kodrat bisa hamil.
Kiranya ada banyak faktor yang bisa dituding sebagai biang keladi adanya kehamilan pada siswi, antara lain faktor budaya, sosial ekonomi orang tua, pendewasaan dini akibat meningkatnya kualitas asupan pangan serta pengaruh global yang sudah merasuk pada setiap sekat kehidupan. Ditengarai, usia anak mendapatkan menstruasi pertama dari jaman ke jaman semakin muda. Kalau jaman dulu usia anak mendapatkan mennstruasi pertama adalah rata rata 12-14 tahun, sekarang ada kecenderungan menjadi 9-12 tahun. Secara biologis, organ reproduksi mereka lebih cepat matang dan siap untuk hamil.

Secara kultural khususnya di daerah pedesaan, usia menikah seorang anak perempuan kebanyakan relatif lebih muda, bahkan terkadang sebelum si anak perempuan mendapatkan haid, mereka sudah mempunyai suami. Sehingga pada saat kehamilan terjadi, tidak akan membawa permasalahan. Seiring dengan kemajuan jaman yang juga menggemakan kesetaraan gender, setiap anak usia sekolah wajib mengikuti wajib Belajar pendidikan dasar (Wajar Dikdas 9 tahun) yang berarti pula menunda kewajiban tradisionalnya untuk segera menikah dan mengasuh anak. Disisi lain, rangsangan seks di disekitarnya terus menggoda melalui berbagai media; tabloid, tayangan televisi dan bahkan praktek seksual orang dewasa yang begitu mudah diakses, menjadikan mereka lebih cepat matang dan pintar daripada anak anak seusia mereka di jaman dahulu. Tayangan televisi yang kian tidak mendidik seperti sinetron dan infotainment, media cetak yang memuat gambar diluar kesopanan, ponsel berkamera berisi rekaman rekaman yang tidak senonoh hanya sekelumit provokator yang bisa disebut disini.

Terjadi perbedaan disini. Anak jaman dahulu, tanpa dicekoki pengaruh buruk media, cenderung dikawinkan muda, bahkan mungkin sebelum si anak tahu akan apa dan bagaimana tentang reproduksi. Sementara dijaman sekarang, anak ”dipaksa” menunda pernikahannya dalam situasi ”pendewasaan dini” karena kewajiban-kewajiban sosialnya sebagai manusia modern. Kemudian, Mereka juga dihadapkan pada aturan sekolah yang tidak memperbolehkan hamil. Otomatis tidak boleh menikah.Apakah ini salah satu bentuk pengekangan terhadap naluri dasar manusia?

Apapun yang terjadi, lagi lagi pihak perempuan yang dikalahkan. Pada akhirnya mereka yang hamil tidak diberikan haknya untuk dapat menempuh pendidikan formal di sekolah. Dianggap mempunyai perilaku yang tidak baik dan gagal dalam mencapai tujuan pendidikan. Sadar ataupun tidak, disini terjadi pelanggaran terhadap berbagai UU yang telah dikeluarkan oleh pemerintah mengenai hak siswa perempuan ini. Beberapa dapat disebutkan; UU No.23 th 2002 tentang perlindungan anak, UU No. 20 th 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional, dan UU No.1 th 1974 tentang perkawinan.

Dalam UU No.23 Th 2002, salah satu pasalnya menyatakan bahwa setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai minat dan bakatnya. Anak yang dimaksud adalah berlaku universal. Tidak membedakan laki laki dan perempuan. Dan yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun.


Dalam UU SISDIKNAS juga disebutkan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Bahkan UU ini juga mengatur tentang wajib belajar bagi WN yang berusia 7 sd 15 tahun. Di dalam UU ini pemerintah dan juga pemerintah daerah, mempunyai kewajiban untuk memberikan pelayanan dan kemudahan ,serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warganegara tanpa adanya diskriminasi apapun. Terjemahan deskriminasi yang berlaku selama ini adalah tidak membedakan laki laki dan perempuan, cacat ataupun tidak, namun belum berlaku bagi para siswi yang hamil.


Dalam UU perkawinan, salah satu pasalnya menyebutkan bahwa orang tua mempunyai kewajiban untuk memelihara dan mendidik anak anaknya. Walaupun secara eksplisit tidak disebutkan tentang pengajaran formal di sekolah, akan tetapi jelas, sudah ada pengakuan dari pemerintah tentang hak hak anak. Bahwa kita harus memperbaiki moral bangsa, itu jelas! Tetapi tentu akan memerlukan waktu yang relatif lama. Bahkan mungkin sampai belasan tahun. Sedangkan fenomena anak perempuan sekolah hamil, semakin tahun semakin bertambah. Mereka tidak bisa menunggu moralnya menjadi baik.Menunggu kita memperbaiki sistem yang ada. Ini memerlukan penanganan yang segera dari kita semua. Jangan sampai karena kehamilannya, menjadikan masa depan seorang anak perempuan terampas dan tercabut haknya.

Akankah amanat UU diatas hanyalah untaian kata kata indah yang tanpa makna? Ataukah kita harus memperbaiki sikap dan peraturan sekolah terhadap siswa perempuan yang hamil ini? Akankah kita kembali pada era sebelum kartini, dimana kaum perempuan tercabut haknya untuk mendapatkan pendidikan yang layak? Sungguh di perlukan jiwa yang matang dan lapang untuk masa depan generasi muda ini. Bagaimana pendapat Anda ?


-------------------ndh-------------------

Jurus u Mencari Sekolah

JURUS JITU MENCARI SEKOLAH
Oleh : Nurul Dini Hardiani, S.Pd
Pengajar di SMP N 1 Padamara

Meski penerimaan siswa baru masih beberapa bulan lagi, tetapi biasanya para orang tua sudah mulai mengintip dan mengelus elus sekolah yang dipercaya bisa membawa putra putrinya ke dalam masa depan yang cerah. Ada beberapa panduan yang perlu diketahui oleh para orang tua ketika mulai memilah milah sekolah mana yang pas dengan kondisi putra putrinya. Tentu sekolah unggulan yang menjadi prioritas pilihan. Sekolah yang unggul adalah sekolah yang bisa mencapai prestasi tertentu dalam output pendidikannya. Menurut Dinas Pendidikan Nasional, keunggulan yang dimaksud adalah dalam hal keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, nasionalisme dan patriotisme yang tinggi, wawasan iptek yang mendalam dan luas, motivasi dan komitme yang tinggi untuk mencapai prestasi dan keunggulan, kepekaan sosial dan kepemimpinan, disiplin yang tinggi yang ditunjang oleh kondisi fisik yang prima.
Hal yang selama ini menjadi salah kaprah dalam pemilihan sekolah adalah hanya semata mata melihat output dari hasil Ujian Nasional. Jika sekolah tersebut bisa meluluskan 100 % siswanya, dan sebagian besar bisa diterima dijenjang pendidikan favorit yang lebih tinggi,maka bisa dipastikan sekolah tersebut akan kebanjiran peminat. Wajar, karena selama ini memang kita melihat bahwa UAN adalah segala galanya. Padahal ini hanya salah satu indikator saja.Belum mencakup keseluruhan yang dimaksud dari sekolah unggulan.Menjadi tantangan bagi pendidik, bagaimana agar masyarakat melihat tidak hanya dari perspektif UAN, tetapi juga dari sisi lain yang lebih manusiawi semisal kepekaan sosial, kreativitas,atau kesesuaian sekolah dengan bakat dan minat calon anak didik.
Ada beberapa indikator sekolah unggulan yang bisa dijadikan patokan bagi para orang tua dalam memilihkan sekolah bagi putra putri tercinta, yaitu ;
Satu, input berupa siswa yang diseleksi secara ketat dengan menggunakan kriteria tertentu dan prosedur yang dapat dipertanggungjawabkan. Kriteria yang selama ini jamak digunakan antara lain: prestasi belajar yang berindikator pada angka raport, nilai ujian akhir murni, hasil test prestasi akademik, skor psikotes serta test fisik jika diperlukan. Sekolah yang tidak bisa menyaring siswa barunya karena suatu alasan tertentu, tidak menutup kemungkinan terjadi penurunan kualitas belajar, peningkatan kenakalan siswa, juga keputus asaan guru yang menangani. Kasus guru khilaf yang ringan tangan kepada siswa sering terjadi pada sekolah sekolah semacam ini.
Dua,sarana dan prasarana yang menunjang untuk memenuhi kebutuhan belajar siswa serta menyalurkan minat dan bakatnya baik dalam kegiatan kurikuler dan extra kurikuler. Diharapkan siswa dengan segala kebutuhan, minat dan bakatnya bisa tersalurkan secara positif. Pilihan sekolah berbasis seni atau basis yang lainnya bisa menjadi pertimbangan tersendiri.Di Purbalingga sendiri ada sekolah berbasis seni semacam SMPN 1 Padamara, atau SMAN Rembang yang kondang akan film film pendek buatannya, atau SMPN 4 Purbalingga yang membuka kelas olahraga, dan masih banyak sekolah sejenis yang bertebaran di Purbalingga.
Tiga, lingkungan belajar yang kondusif untuk berkembangnya potensi keunggulan menjadi keunggulan yang nyata, baik lingkungan dalam arti fisik maupun sosial psikologis. Seluruh sekolah di Purbalingga sudah memiliki lingkungan yang baik yang mendukung seluruh kegiatan dalam proses belajar mengajar.
Empat, guru dan tenaga kependidikan terdiri atas guru yang unggul. Baik dari segi penguasaan materi pelajaran, penguasaan metode mengajar, maupun komitmen dalam melaksanakan tugas. Ada baiknya sekolah sering mengadakan layanan semacam in house training bagi para pendidik, selalu berusaha membina hubungan baik dan terjaga antar penghuni sekolah. Sehingga diharapkan materi,metode pengajaran, maupun komitmen dalam bertugas bisa saling bersinergi secara positif.Seiring dan sejalan bersama tanpa ada yang ketinggalan satupun. Sangat indah menyaksikan sekolah yang harmonis seperti ini
Lima, kurikulum yang diperkaya disamping berpegang pada kurikulum yang standar, dilakukan pengembangan dan improvisasi secara maksimal sesuai dengan tuntutan belajar peserta didik. Semisal, akan sangat menarik jika pelajaran Teknologi Informasi di luar jam sekolah diajarkan tentang internet, mulai dari cara berfacebookria, twitter,sampai membuat blog
Enam, rentang waktu belajar disekolah lebih panjang dibandingkan dengan sekolah lain.Anak didik seyogyanya merasa betah dan enjoy disekolah tanpa merasa terbebani,sehingga mereka selalu mencari kebutuhan belajar yang dapat dipenuhi oleh sekolah. Olahraga, teater, menari,membuat film, kepanduan,dapat membuat siswa asyik dengan dunianya.Selalu merasa ingin disekolah,akan membuat membuat akal terasah dengan baik. Hasilnya, mereka menjadi lebih unggul dibanding rekan sebayanya di lain sekolah. Prestasi demi prestasi tentu akan mudah mereka raih.
Tujuh, proses belajar mengajar berkualitas dan hasilnya selalu dapat dipertanggungjawabkan. Tertib dokumen menjadi tantangan tersendiri bagi guru. Diperlukan kemauan yang keras mengingat guru sudah banyak disibukan dengan kegiatan belajar mengajar, dan segala polah tingkah anak didiknya
Delapan, adanya nilai lebih yang dapat dilihat dari perlakuan tambahan diluar kurikulum nasional, seperti program pengayaan dan perluasan materi, pengajaran remidial, pelayanan bimbingan dan konseling yang berkualitas, dan kegiatan extra kurikuler lainnya.
Sembilan, pembinaan kemampuan kepemimpinan yang menyatu dalam bentuk keseluruhan sistem pembinaan siswa, bukan sebagai materi pelajaran.
sepuluh, sekolah tunduk pada peraturan perundangan
Belajar disekolah lebih ditekankan pada proses belajar yang menggunakan daya akal (brain power) daripada daya fisik (physical power).
Tantangan dihadapi melalui sistem pendidikan nasional berwawasan keunggulan, kemampuan individu dalam menguasai ketrampilan dan keahlian dengan tidak meninggalkan jati diri bangsa.
Sudahkan anda menemukan sekolah yang dicari?

Aku Menulis Maka Aku Ada

AKU MENULIS MAKA AKU ADA
Sunday, 13 December 2009 (04:33) | 116 views | 2 komentar
Oleh Nurul Dini Hardiani
Siapa bilang menulis itu pekerjaan mudah? Menurut pengalaman pribadi, fakta jelas-jelas menggamblangkan bahwa menulis itu sesuatu yang sangat sulit.
Ibarat seseorang yang coba coba belajar memasak masakan dari Negeri Antah Berantah; yang jangankan mencicipi, melihat bentuk masakannyapun belum pernah. Hanya meraba-raba dari teori dan resep yang didapatkannya. Alhasil, cita rasa yang didapat sudah hampir pasti sesuai dengan selera si pemasak, atau mungkin si pemasak malah membuat menu baru karena terlalu jauhnya rasa masakan buatannya itu dari cita rasa yang aslinya.
Tapi itulah keunikan dari dunia tulis menulis, prosesnya hampir sama seperti latihan memasak. Kali pertama akan menghasilkan formula yang hambar atau bahkan aneh, cita rasa yang tak terbayangkan sebelumnya, sehingga membuat seseorang mengerenyitkan dahi ketika membacanya. Tetapi apabila si pemula tidak putus asa, pantang menyerah dan telaten dalam mencoba, maka akan terasa kemudahan dalam menulis. Semakin sering kita menulis maka akan semakin ahli kita dalam meramu kata demi kata hingga tercipta untaian kalimat yang indah dan enak dibaca. Apabila karakter kita kuat serta didukung oleh ide-ide yang orisinil, maka akan tercipta pula gaya penulisan yang khas seperti halnya tulisan lepas suguhan Prof. Eko di rubrik Gayeng Semarang harian Suara Merdeka; terasa sederhana, namun komunikatif, lugas, renyah, dan menyegarkan.
Meskipun masih dalam taraf pemula dan belajar, seorang penulis pada akhirnya harus memberanikan diri untuk menampilkan karya tulisannya dan siap diapresiasikan oleh pembaca. Terlalu jauh untuk menulis berdasarkan pesanan seseorang karena hal Itu bagian pekerjaan untuk seseorang yang sudah ahli dan pakar dalam bidang kepenulisan. Untuk menuliskan sesuatu yang sepelepun terkadang stress dan bete menghadang. Persoalan mood pun seringkali membuat macet ide- ide yang mampir di kepala; betul betul suatu perjuangan yang berat. Bukan hanya perjuangan untuk melawan diri sendiri, tetapi juga perjuangan untuk membuat tulisan yang dapat diterima oleh pembaca. Menjadi lebih sulit lagi manakala seorang penulis pemula dihadapkan pada masih rendahnya budaya baca di negeri ini.
Dengan sederet fakta tersebut diatas, apakah dapat disimpulkan bahwa menulis itu susah ? Tunggu dulu, tidak boleh membuat kesimpulan hanya berdasarkan secuil fakta, terlebih lebih bagi seorang guru yang pekerjaannya sangat lekat dengan dunia tulis menulis karena memang tugas utamanya adalah mentransfer ilmu secara terencana dan terukur kepada murid-muridnya. Paket-paket pembelajaran sudah tersedia oleh banyak penerbit, sehingga kalau berbicara dalam ukuran minimal, seoarang Guru tidak perlu lagi repot-repot menyusun silabinya sendiri, tinggal memilih yang cocok kemudian melaksanakannya. Pertanyaannya kemudian, dalam era otonomi sekolah dan era peningkatan mutu melalui berbagai strategi dan kebijakan pemerintah, apakah karya seorang guru hanya cukup hanya sampai disitu?
Sebagai seorang guru, fakta telah membuktikan hidup kita penuh dengan dunia tulis menulis, hampir setiap hari kita menulis di papan tulis. Mengerjakan tugas administrasi sebagai guru juga mendominasi di keseharian kita. Namun ironisnya, saking banyaknya tugas pekerjaan administrasi yang harus dibuat, justru membuat seorang guru lupa akan pengembangan kemampuan dirinya utamanya di bidang tulis menulis.
Di luar kegiatan itu semua, kita bahkan terlalu akrab dan tidak bisa dipisahkan dengan tulis menulis; membuat kwitansi, membuat daftar belanjaan, atau daftar utang sekalipun, bon di warung tetangga selalu dibuat dengan tulisan pada secarik kertas. Jadi menulis itu mudah bukan?
Menurut hemat saya, menulis bukanlah pekerjaan mudah, tetapi juga bukan pekerjaan yang tidak bisa dipelajari dan dibiasakan sehingga menjadi sesuai yang mudah dan menyenangkan karena dapat menjadi saluran aspirasi dan pikiran-pikiran kritis yang mungkin terkendala jika dikomunikasikan secara lisan. Tidak perlu menunggu menjadi penulis yang trampil dan handal jika kita punya kemauan untuk menulis. Teori tulis menulis di era sekarang amat mudah dan gampang diakses. Mulai dari workshop, seminar,bedah buku hingga ngeblog di internet. Tetapi pada saat mempraktekannya tidak cukup dua atau tiga kali karena pada dasarnya menulis adalah kegiatan produktif dan ekspresif. Modalnya hanya kemauan dan ketekunan.
Bagi kebanyakan guru di Kabupaten Purbalingga, aktivitas di dunia kepenulisan terbilang masih relatif rendah. Ada kecenderungan guru kurang atau bahkan tidak percaya diri dalam menuangkan gagasan maupun pemikiran-pemikiran kritis sebagai bentuk kepedualiannya dalam menyikapi berbagai fenomena sosial utamanya bidang pendidikan di tanah air dalam bentuk tulisan. Data yang didapat dari LPMP Jateng mengemukakan bahwa prosentase guru PNS di Jateng yang sudah berhasil meraih jenjang ke golongan IV-B masih sangat rendah. Untuk guru SD 0,20%, SMP 2,04%, SMA 1,65% dan SMK 1,46%. Sebagian besar terbentur pada saat pengumpulan angka kredit pengembangan profesi melalui penulisan karya ilmiah.
Kiranya membiasakan guru menuangkan gagasan dalam tulisan merupakan langkah awal yang tepat sebagai proses penanaman budaya menulis kreatif. Untuk menghidupkan kemauan dan membiasakan guru trampil menulis diperlukan suatu formula yang tepat: Jadikan menulis sebagai sarana hiburan,rekreasi, bahkan meditasi tanpa beban apapun. Tidak peduli tulisan yang diangkat dalam bentuk prosa, artikel,karya ilmiah, atau apapun namanya, yang penting harus datang dari hati. Sebab jika menulis saja sudah dianggap ruwet, hasil yang ada hanyalah akan mempersulit diri sendiri.
Menulis harus dikerjakan dengan tenang. Biasanya setelah tiga–empat kali menulis, tanpa disadari akan muncul adanya dorongan yang terus menerus untuk menulis. Ini yang perlu kita pupuk. Tidak peduli dimuat di surat kabar ataupun tidak, ada apresiasi dari pembaca ataupun tidak, bukanlah halangan untuk menjadikan penulis pemula patah arang. Seseorang yang suka menulis karena adanya dorongan dari hati dan rutin menulis membuat si penulis pemula menjadi terlatih dalam menata bahasanya.
Descartes yang filsuf saja mengatakan “Aku berpikir, maka aku ada”. Berpikir sangat dekat dengan kepenulisan. Jadi kenapa guru tidak memulai untuk segera mengembangkan diri di dunia tulis menulis? Dengan menulis kita dapat menyampaikan apa yang ada dalam otak kita menjadi kata-kata yang bermakna. Kita berusaha memberikan informasi kepada orang lain yang mungkin informasi tersebut sangat dibutuhkan atau bahkan ditunggu tunggu dan dirindukan.
Ada banyak keuntungan apabila seorang guru menjadi penulis. Salah satunya adalah guru dapat menularkan ilmu secara baik dan benar. Ketika sedang menulis, pada saat itu hakikatnya guru tengah belajar tentang materi yang ditulisnya, sehingga ilmu dari guru tersebut menjadi semakin matang, dan materi pembelajaran dapat semakin dikuasai dengan baik. Jika materi sudah dalam genggaman tangan, guru akan menjadi seseorang yang berwibawa di depan siswanya. Bahkan dimungkinkan seorang guru dapat menemukan metode pembelajaran yang tepat bagi anak didiknya. Ini akan berimbas pada peningkatan minat baca murid, merangsang keingintahuan dan kemampuan murid yang bermuara pada peningkatan mutu pendidikan yang lebih baik.
Guru yang penulis juga akan menjadi teladan di lingkungan kerja dan masyarakat karena tidak hanya pintar di teorinya saja. Seorang guru yang penulis akan lebih mudah mengkomunikasikan ide idenya secara leluasa. Bahkan bisa menolak atau memunculkan ide ide baru yang segar karena si penulis juga terus menerus belajar. Jika Ini sudah terjadi, maka kenaikan pangkat dan golongan, sertifikasi, bahkan penghasilan tambahan akan mengalir lancar. Pundi pundi uang akan mengisi dan menggemukkan kantong si penulis. Laris manis menjadi pembicara di seminar seminar, atau bahkan karya-karyanya dibeli oleh penerbit. Secara empiris, seorang penulis buku tidak ada yang miskin, karena bagaimana bisa miskin jika hak ciptanya dibeli oleh penerbit seharga puluhan atau bahkan ratusan juta rupiah ?. Jika ini terjadi, bukankah akan sangat menyehatkan kantong kita? Di dalam kantong yang sehat, terdapat jiwa raga yang kuat ; Men Sana In Corpore Sano?
Seiring dengan semangat tersebut, perlu kiranya sebuah wadah yang bisa menjembatani pengembangan profesi guru,dosen, tenaga kependidikan melalui kegiatan dan pembelajaran dalam kepenulisan. Melalui wadah tersebut diharapkan guru terbamtu ketika mengalami kesulitan dalam menulis sehingga merangsang adrenalin dan terciptanya kreativitas guru dalam membangun budaya menulis.
Salah satu organisasi yang mempunyai kepedulian terhadap dunia kepenulisan di Kabupaten Purbalingga yang baru terbentuk, adalah Asosiasi Guru Penulis Seluruh Indonesia (AGUPENA). Organisasi ini pertama kali digagas oleh Dirjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) DEPDIKNAS, Dr Fasli Jalal, pada tanggal 28 Nopember 2006.Organisasi ini didirikan oleh para pemenang sayembara bahan bacaan yang diselenggarakan oleh Pusat Perbukuan DEPDIKNAS.
Agupena Jawa Tengah terbentuk pada tanggal 4 Februari 2009 di LPMP Jateng. Sedangkan AGUPENA cabang Kabupaten Purbalingga dan Agupena cabang Kabupaten Banyumas baru dilantik pada saat bedah buku “Pembelajaran Berbasis Fitrah” karya Ketua Umum Agupena Pusat, Achjar Chalil dan dan Workshop Penulisan Artikel pada Media Masa yang di bawakan secara apik oleh Bapane Blokeng, Didi Wahyu bertempat di SMA 2 Purwokerto pada tanggal 26 Maret 2009.
Pengurus AGUPENA cabang Kabupaten Purbalingga untuk sementara di motori oleh 14 orang guru yang tersebar mulai dari guru TK,SD,SMP,SMA/SMK di Kabupaten Purbalingga. Pendirian AGUPENA Cabang Kabupaten Purbalingga didasari oleh perlunya suatu wadah organisasi bagi para guru,dosen, dan tenaga kependidikan untuk menyalurkan talenta dan potensi di bidang kepenulisan. Semoga kelahiran AGUPENA ini dapat turut serta bekerjasama dengan organisasi yang lain dalam upaya peningkatan budaya menulis di kalangan guru dan memajukan dunia pendidikan. Bergabunglah bersama Agupena untuk belajar dan mengasah ketrampilan menulis, demi masa depan yang lebih cerah.
Selamat menulis, karena menulis itu baik untuk kesehatan anda
Bahan Bacaan :
Saat Guru Belajar Nulis, Harian Suara Merdeka 18 Januari 2009, hal. 24
Banyak Larangan, Kreatifitas Guru Terhambat, Suara Merdeka 9 Pebruari 2009 hal O
Brosur Agupena pada Bedah Buku “ Pembelajaran Berbasis Fitrah’ 26 Maret 2009
Nurul Dini Hardiani, S.Pd
Guru SMP Negeri 1 Padamara, Purbalingga, Pengurus Agupena Purbalingga
Tags:
2 komentar terhadap “AKU MENULIS MAKA AKU ADA”
1. SUPANDI | TUESDAY, 15 DECEMBER 2009 @ 2:46 AM

Great…Mba Nurul. Tulisannya sangat inspiratif. Dengan menulis otomatis kita juga akan banyak belajar dengan membaca, mengamati dan mengalami. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Sukses buat Anda.
Supandi
Kroya-Cilacap
Reply
2. EL-QOLAM | FRIDAY, 18 DECEMBER 2009 @ 11:18 AM

Menulis itu mudah…! Tinggal ambil pulpen, dan tulis yang mau ditulis…! Jadi tulisan.
Atau
Nyalakan Komputer…! Ketik yang mau diketik…! Jadi Tulisan
El-Qolam´s last blog ..Apa yang Tertulis di Pintu Syurga
Reply
 

Masa Lalu

Masa Lalu
My Family

Saat Ocha mikir

Saat Ocha mikir
jagoanku

my super hero

my super hero
Saat Rifky masih kecil

Lets Go To Dream

Lets Go To Dream
my dream come true

Istana Wagub

Istana Wagub
cieee ...

mikir ......