SELAMAT DATANG

Welcome To My Blog, I Hope You Are Interested and Enjoy It With Me. Certainly, We Can Learn To Each Other. Hehehe...
Diberdayakan oleh Blogger.

Minggu, 25 Juli 2010

Bangkitlah Perempuan bangsa !!

MENOLAK KEKERASAN, MENGUSUNG KESETARAAN
(Refleksi 100 tahun kebangkitan Perempuan Indonesia)
Oleh : Nurul Dini Hardiani Suroto


Tahukah Anda bahwa tanggal 25 November adalah Hari HAM Internasional. Pada saat yang bersamaan, Tanggal 25 November sampai 10 Desember duniapun merayakannya sebagai Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Ini menandakan ternyata masih banyaknya perempuan dunia yang mengalami kekerasan fisik maupun psikis dalam hidupnya. Diberitakan bahwa setengah dari perempuan di dunia pernah mengalami kekerasan. Untuk Indonesia sendiri, menurut Komisi Nasional Anti kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) tercatat bahwa kekerasan paling banyak terjadi di dalam rumah tangga. Yang tak lain korban terbanyak (75%) adalah seorang istri. Dan tindak kejahatan ini disinyalir tiap tahunnya meningkat secara signifikan.
Mengamati keadaan yang melanda Indonesia, agaknya memang kaum perempuan masih saja mendapat perlakuan yang kurang mengenakan dan masih di nomor duakan oleh laki laki.Padahal jumlah penduduk Indonesia 59% di dominasi oleh perempuan. Menjadi agak janggal mengingat biasanya golongan yang tertindas adalah kaum minoritas,dalam hal ini laki laki. Tetapi kenyataannya justru kaum mayoritaslah yang tertindas(perempuan). Mungkin juga salah satu sebabnya dominasi nilai nilai partriarkhi yang mengurat mengakar dalam kebudayaan Indonesia. Bahwa kaum laki laki “lebih berharga” daripada kaum perempuan.Payahnya lagi perempuan Indonesia masih mempunyai mental ketertindasan, mental yang sering terbelenggu stereotip dan tradisi ketidakadilan di negara ini
Sejatinya kalau kita mau merunut ke belakang, sejarah mencatat, 2 bulan setelah sumpah Pemuda di deklarasikan, tepatnya tanggal 22 Desember 1928 diselenggarakan konggres perempuan I di Indonesia yang dihadiri oleh perwakilan dari sekitar 30 organisasi perempuan di Yogyakarta.Nama nama Nyi Hajar Dewantara, Sitti sundari adalah inisiator dan penggerak konggres ini. Misi utamanya adalah menggabungkan organisasi organisasi perempuan Indonesia dalam sebuah wadah yang sama sekali tidak membedakan latar belakang politik, suku, status social dan bahkan agama. Dan konggres itu berhasil. 22 Desember diperingati sebagai Hari Ibu hadir sebagai puncak kebangkitan kesadaran kaum peremouan Indonesia dalam rangka menghimpun kekuatan bersama untuk bisa keluar dari berbagai permasalahan dan ketertinggalannya. Ini berarti, jauh sebelum Indonesia merdeka, perempuan Indonesia telah memiliki kesadaran mengenai arti penting keberadaannya dan ingin mengentaskan berbagai permasalahan yang ada.
Sehubungan dengan Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan dengan Hari Ibu menjadi sangat erat mengingat masih banyaknya korban dari kaum perempuan akibat tindakan kekerasan dalam rumah tangga merupakan salah satu masalah yang harus dijadikan agenda utama perjuangan kaum perempuan Indonesia saat ini. Perempuan Indonesia masih mempunyai beban tanggung jawab yang berat mengingat masalah perempuan yang dibahas dalam konggres masih sangat relevan dengan permasalahan perempuan sekarang, Dari permasalahan seperti tindak kekerasan, pelecehan seksual dari pemaknaan gender yang dangkal, dan kurangnya akses perempuan di depan publik, harus segera diselesaikan.
Kita bersyukur bahwa pemerintah sekarang sangat akomodatif terhadap perempuan. Pemerintah tengah meningkatkan soal gender. Mulai dari program peningkatan kualitas hidup perempuan, pengembangan dan keserasian kebijakan pemberdayaan perempuan,hingga peningkatan peran masyarakat dan perempuan kelembagaan pengarusutamaan gender. Mulai dari ketentuan kuota 30% bagi perempuan untuk hadir dalam kancah perpolitikan dan kepemerintahan, hingga lahirnya UU No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah tangga. Kepedulian pemerintah ini sudah selayaknya kita sambut baik. Undang undangnya sudah ada, Tinggal kita mensosialisasikannya hingga ke satuan masyarakat terkecil di wilayah yang paling terpencil sekalipun. Mengingat berbagai tindak kriminalitas, kerusuhan, kerusakan moral, pemerkosaan, penganiayaan, pelecehan seksual dan lain lain menjadi fenomena yang tidak terpisahkan dengan budaya kekerasan di alam modern sekarang ini dan bisa terjadi dimanapun berada.
Ingatkah tentang Kasus terbunuhnya seorang istri gara gara masakan yang dirasa kurang garam oleh suami. Kasus seorang ibu yang terbunuh oleh adik laki lakinya gara gara telat menghidangkan makan siangnya, kemudian di Purbalingga sendiri kita dikejutkan oleh kasus Darti, seorang PSK yang nyawanya begitu murah melayang setelah digilir beberapa pemuda mabuk, kemudian diletakan begitu saja di tengah jalan sebuah SPBU, hingga yang terbaru, Syeh Puji, mengutip yang dilansir media, telah menceraikan 3 istrinya dengan alasan yang sangat menyakitkan yaitu kurang memuaskan dalam melayani kebutuhan biologisnya adalah secuil bukti bahwa perempuan menjadi kelompok yang paling sering mendapatkan kekerasan fisik maupun psikisnya. Sedih saja tidak cukup bagi kita untuk menyelesaikan permasalahan. Begitu banyak perempuan Indonesia yang tersia sia dalam hidupnya. Menjadi tak berarti apa apa. Untuk beberapa saat kasus kasus tersebut akan hilang tertiup angin. Blowing in the wind. Relakah kita?
Dimana letak kesalahan kita? Mengapa kasus kasus serupa selalu kembali terjadi dan terjadi lagi. Tidakah ada penyelesaian yang tuntas dalam menanganinya sehingga ada semacam shock terapi bagi para pembuat onar untuk berpikiran tidak berani berbuat macam macam terhadap perempuan?.
Penanganan hukum saja kiranya tidak cukup untuk menangani kekerasan terhadap perempuan. Diperlukan kerja sama dari kita semua dan penguatan kapasitas institusi yang saling bersinergi hingga dapat menghasilkan keputusan yang sebaik baiknya dan seadil adilnya bagi kita, perempuan. Para pendamping kasus kekerasan terhadap perempuan seperti polwan, jaksa, hakim, pengacara, hingga tenaga kesehatan perlu diberdayakan agar dapat melihat kasus KDRT dalam kacamata/perspektif gender.
Selain itu perlu juga dibentuk unit pelayanan korban sampai ditempat yang dapat dijangkau masyarakat sehingga dapat menyikapi kasus dengan cepat dan tepat. Idealnya jaringan anti kekerasan terhadap perempuan perlu dibentuk mulai desa/kelurahan dari Dasa Wisma, poskesdes, pustu, puskesmas hingga RSUD yang kesemuanya itu dilengkapi dengan petugas yang “Sadar KDRT”.
Diperlukan usaha yang komprehensif dari semua pihak untuk pemberdayaan keluarga, komunitas dan masyarakat luas. Penegakan hukum bagi pelaku, perlindungan korban, rehabilitasi serta pencegahan perlu terus ditingkatkan dengan pemerintah sebagai motornya.
Kasus KDRT ibarat fenomena gunung es. Artinya kasus yang terungkap belum bisa mewakili kasus yang sebenarnya. Disinyalir masih banyak kasus KDRT yang belum terungkap ke permukaan karena berbagai faktor. Mulai dari takut pada pelaku,malu bila aib keluarga diketahui publik, ataupun budaya permisif yang cenderung memaafkan pelaku.
Salut dengan tim penanganan KDRT di kabupaten Purbalingga yang telah berjalan baik dan saling bersinergi bahu membahu dalam menangani kasus KDRT di Kabupaten Purbalingga. Semoga dengan momentum Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Hari ibu, 100 tahun kebangkitan perempuan Indonesia, dapat memberikan penyadaran bagi kita untuk selalu menyuarakan hak hak kaum perempuan tanpa memandang suku, agama, ras, dan aliran. Sudah saatnya kaum perempuan diberikan posisi yang setara, adil dan manusiawi, sehingga kita benar benar terbebas dari kekerasan. Bangkitlah perempuan Indonesia !.

Sabtu, 17 Juli 2010

wijayakusuma ku

 

Masa Lalu

Masa Lalu
My Family

Saat Ocha mikir

Saat Ocha mikir
jagoanku

my super hero

my super hero
Saat Rifky masih kecil

Lets Go To Dream

Lets Go To Dream
my dream come true

Istana Wagub

Istana Wagub
cieee ...

mikir ......