SELAMAT DATANG

Welcome To My Blog, I Hope You Are Interested and Enjoy It With Me. Certainly, We Can Learn To Each Other. Hehehe...
Diberdayakan oleh Blogger.

Sabtu, 22 Mei 2010

hamil di luar nikah

Hamil pada saat sekolah, siapa yang harus salah ?

Tahun telah berganti, Desember 2006 baru saja berlalu. Tentu saja ada banyak kenangan di sepanjang 2006 yang masih lekat diingatan kita, yang juga mungkin tetap menjadi persoalan kita di tahun 2007. dalam halini, salah satu masalah sensitif, yang belum sepenuhnya terbuka dan tabu untuk dibicarakan apalagi didiskusikan dalam forum-forum resmi adalah kenyataan masih banyaknya kejadian kehamilan pada usia sekolah. Peristiwanya terus mengalir bagaikan bola salju yang menggelinding tanpa henti, sedangkan data kongkritnya seperti guning es, sedikit yang terkuak namun lebih banyak lagi yang ditenggelamkan. Kalau ada married by accident, sudah bisa dipastikan diawali dengan kejadian kehamilan yang tidak diharapkan. Yang lebih mencengangkan lagi, sebagaimana pernah dilansir oleh sebuah sebuah harian terkemuka disebutkan bahwa kejadian kehamilan pra nikah siswa perempuan SMP-SMA mengalami kenaikan sebesar 15 %. Terhadap masalah ini, orang tua akan malu, pihak sekolah akan memaksa yang bersangkutan untuk ” mengundurkan diri dari sekolah” supaya tidak ikut kebagian malu, masyarakat hanya bisa ngelus dada, tokoh agama pun ikut prihatin. Kalau sudah demikian halnya, siapa yang patut dipersalahkan ?

Tentu saja fenomena ini sangat menarik untuk kita kaji secara lebih mendalam, karena didalamnya tidak saja menyangkut rendahnya pemahaman seksual generasi muda, namun yang lebih utama adalah bukti kongkrit adanya dekadensi moral, rendahnya penghayatan nilai-nilai keagamaan dan berarti pula ”gagalnya seorang ibu ?” dalam menggembalakan putra-putrinya. Pendapat ini nampaknya disandarkan pada ”kesepakatan sosial” bahwa salah satu tugas ibu yang sangat mendasar adalah mengantarkan putra-putrinya menjadi anak bangsa yang berpendidikan, bermoral dan bermasa depan gemilang

Selama ini, jika terjadi kehamilan pada siswa putri, pihak sekolah cenderung lepas tangan, bahkan cenderung memojokan. Dengan dalih melanggar aturan sekolah, siswa yang bersangkutan akan diminta secara sukarela mengundurkan diri dari sekolah. Padahal persoalannya tidak semudah itu. Terjadi bias gender disini, karena selalu pihak perempuan yang dijadikan korban. Adanya kehamilan pada siswa perempuan, pada hakekatnya tidak semata mata kesalahan pihak perempuan. Siswa perempuan hamil adalah fakta. karena mereka adalah seorang perempuan yang memang secara kodrat bisa hamil.
Kiranya ada banyak faktor yang bisa dituding sebagai biang keladi adanya kehamilan pada siswi, antara lain faktor budaya, sosial ekonomi orang tua, pendewasaan dini akibat meningkatnya kualitas asupan pangan serta pengaruh global yang sudah merasuk pada setiap sekat kehidupan. Ditengarai, usia anak mendapatkan menstruasi pertama dari jaman ke jaman semakin muda. Kalau jaman dulu usia anak mendapatkan mennstruasi pertama adalah rata rata 12-14 tahun, sekarang ada kecenderungan menjadi 9-12 tahun. Secara biologis, organ reproduksi mereka lebih cepat matang dan siap untuk hamil.

Secara kultural khususnya di daerah pedesaan, usia menikah seorang anak perempuan kebanyakan relatif lebih muda, bahkan terkadang sebelum si anak perempuan mendapatkan haid, mereka sudah mempunyai suami. Sehingga pada saat kehamilan terjadi, tidak akan membawa permasalahan. Seiring dengan kemajuan jaman yang juga menggemakan kesetaraan gender, setiap anak usia sekolah wajib mengikuti wajib Belajar pendidikan dasar (Wajar Dikdas 9 tahun) yang berarti pula menunda kewajiban tradisionalnya untuk segera menikah dan mengasuh anak. Disisi lain, rangsangan seks di disekitarnya terus menggoda melalui berbagai media; tabloid, tayangan televisi dan bahkan praktek seksual orang dewasa yang begitu mudah diakses, menjadikan mereka lebih cepat matang dan pintar daripada anak anak seusia mereka di jaman dahulu. Tayangan televisi yang kian tidak mendidik seperti sinetron dan infotainment, media cetak yang memuat gambar diluar kesopanan, ponsel berkamera berisi rekaman rekaman yang tidak senonoh hanya sekelumit provokator yang bisa disebut disini.

Terjadi perbedaan disini. Anak jaman dahulu, tanpa dicekoki pengaruh buruk media, cenderung dikawinkan muda, bahkan mungkin sebelum si anak tahu akan apa dan bagaimana tentang reproduksi. Sementara dijaman sekarang, anak ”dipaksa” menunda pernikahannya dalam situasi ”pendewasaan dini” karena kewajiban-kewajiban sosialnya sebagai manusia modern. Kemudian, Mereka juga dihadapkan pada aturan sekolah yang tidak memperbolehkan hamil. Otomatis tidak boleh menikah.Apakah ini salah satu bentuk pengekangan terhadap naluri dasar manusia?

Apapun yang terjadi, lagi lagi pihak perempuan yang dikalahkan. Pada akhirnya mereka yang hamil tidak diberikan haknya untuk dapat menempuh pendidikan formal di sekolah. Dianggap mempunyai perilaku yang tidak baik dan gagal dalam mencapai tujuan pendidikan. Sadar ataupun tidak, disini terjadi pelanggaran terhadap berbagai UU yang telah dikeluarkan oleh pemerintah mengenai hak siswa perempuan ini. Beberapa dapat disebutkan; UU No.23 th 2002 tentang perlindungan anak, UU No. 20 th 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional, dan UU No.1 th 1974 tentang perkawinan.

Dalam UU No.23 Th 2002, salah satu pasalnya menyatakan bahwa setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai minat dan bakatnya. Anak yang dimaksud adalah berlaku universal. Tidak membedakan laki laki dan perempuan. Dan yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun.


Dalam UU SISDIKNAS juga disebutkan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Bahkan UU ini juga mengatur tentang wajib belajar bagi WN yang berusia 7 sd 15 tahun. Di dalam UU ini pemerintah dan juga pemerintah daerah, mempunyai kewajiban untuk memberikan pelayanan dan kemudahan ,serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warganegara tanpa adanya diskriminasi apapun. Terjemahan deskriminasi yang berlaku selama ini adalah tidak membedakan laki laki dan perempuan, cacat ataupun tidak, namun belum berlaku bagi para siswi yang hamil.


Dalam UU perkawinan, salah satu pasalnya menyebutkan bahwa orang tua mempunyai kewajiban untuk memelihara dan mendidik anak anaknya. Walaupun secara eksplisit tidak disebutkan tentang pengajaran formal di sekolah, akan tetapi jelas, sudah ada pengakuan dari pemerintah tentang hak hak anak. Bahwa kita harus memperbaiki moral bangsa, itu jelas! Tetapi tentu akan memerlukan waktu yang relatif lama. Bahkan mungkin sampai belasan tahun. Sedangkan fenomena anak perempuan sekolah hamil, semakin tahun semakin bertambah. Mereka tidak bisa menunggu moralnya menjadi baik.Menunggu kita memperbaiki sistem yang ada. Ini memerlukan penanganan yang segera dari kita semua. Jangan sampai karena kehamilannya, menjadikan masa depan seorang anak perempuan terampas dan tercabut haknya.

Akankah amanat UU diatas hanyalah untaian kata kata indah yang tanpa makna? Ataukah kita harus memperbaiki sikap dan peraturan sekolah terhadap siswa perempuan yang hamil ini? Akankah kita kembali pada era sebelum kartini, dimana kaum perempuan tercabut haknya untuk mendapatkan pendidikan yang layak? Sungguh di perlukan jiwa yang matang dan lapang untuk masa depan generasi muda ini. Bagaimana pendapat Anda ?


-------------------ndh-------------------

0 komentar:

Posting Komentar

 

Masa Lalu

Masa Lalu
My Family

Saat Ocha mikir

Saat Ocha mikir
jagoanku

my super hero

my super hero
Saat Rifky masih kecil

Lets Go To Dream

Lets Go To Dream
my dream come true

Istana Wagub

Istana Wagub
cieee ...

mikir ......