Makalah ini dibuat hanya untuk memenuhi tugas mata kuliah evaluasi proyek di MIE Unsoed. Semoga tidak ada yang tersungging....
Analisis Proyek Mangkrak
(Studi kasus  tentang Pembangunan Taman “Usman Janatin”
 Di Kabupaten Purbalingga)
A. Latar Belakang
Penyelenggaraan  otonomi daerah yang oleh undang-undang  di titik beratkan pelaksanaannya di Daerah Kabupaten/Kota,   telah  memberi hak dan tanggungjawab yang besar kepada daerah  tersebut dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan  dan pembinaan kemasyarakatan, termasuk didalamnya   kewenangan yang lebih besar dalam pengelolaan berbagai potensi di daerahnya   untuk menggali  sumber-sumber keuangan baru  berupa Pendapatan Asli Daerah / PAD. Secara politis memang diamanatkan bahwa salah satu keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah antara lain diukur dari sejauh mana daerah tersebut mampu secara  mandiri  dalam membiayai kebutuhan pembangunannya, dengan tidak menggantungkan diri terhadap berbagai penerimaan yang bersumber dari Pemerintah Pusat.
Namun demikian harus disadari bahwa  dalam praktek kenyataannya, pemberian otonomi yang  nyata, luas dan bertanggung jawab kepada daerah belum serta merta memampukan daerah dalam membiayai kebutuhannya. Hal ini  antara lain  disebabkan karena sumber-sumber penerimaan  yang ”gemuk” masih dikuasai  oleh Pemerintah Pusat;  dan daerah  hanya  diberikan hak dan wewenang untuk menggali dan menguasai sumber-sumber penerimaan yang berskala kecil,  ”kurus” dan kurang menghasilkan. Kebijakan pemerintah Pusat yang dibingkai oleh hirarkhi pemerintahan serta konteks otonomi yang berada dalam ikatan Negara Kesatuan ini ”sekilas” merugikan daerah namun, namun  justru menguntungkan bagi Kabupaten / Kota khususnya  di wilayah Pulau Jawa yang belum berkembang secara ekonomi dan relatif tidak memiliki   potensi sumberdaya alam  yang memadai untuk ”dijual”   sebagai sumber pendapatan daerahnya. 
Hal ini mengingat bahwa sumber penerimaan negara yang terbesar disamping bersumber dari penerimaan pajak, juga digali dari pengelolaan sumber daya alam berupa  hutan, dan berbagai bahan tambang.
Oleh karena itu tidak mengherankan apabila pendapatan Asli daerah di Kabupaten/Kota di Wilayah Jawa, (kecuali Daerah Khusus Ibu Kota dan Kota –kota besar lainnya)  tidak pernah tembus pada angka yang melebihi 10 % dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah / APBD  yang dikelolanya.  Ini Berarti bahwa  90 % sumber pendapatan Daerahnya berasal dari pemberian pemerintah Pusat, baik berupa Dana Alokasi Umum /DAU, Dana Alokasi Khusus /DAK, Bagi hasil pajak dan bukan Pajak, Bagi Hasil Minyak dan Gas maupun pos penerimaan lainnya.  
Berpijak pada kondisi tersebut,  serta adanya ”kewajiban” Daerah untuk terus berupaya mandiri dalam  hal pembiayaan  pembangunannya sesuai dengan hakekat otonomi daerah  melalui upaya pendayagunaan kewenangan dan potensi daerahnya masing-masing;  maka seluruh Kabupaten/Kota  telah menginisiasi potensi dan kewenangan yang dimilikinya untuk mendongkrak Pendapatan Asli Daerahnya. Secara empiris, hal ini bisa berujung pada dua kenyataan  yang saling  bertolak belakang  yakni  (1) terciptanya  iklim usaha dan investasi  yang lebih kondusif untuk memajukan perekonomian daerah  yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat   dan berpotensi menjadi  sumber PAD  atau (2)  tibulnya penetapan  kebijakan  pajak dan retribusi   secara berlebihan   yang  justru menimbulkan distorsi dalam kegiatan usaha dan investasi. Kebijakan yang pertama berimplikasi pada peningkatan laju  kegiatan dan usaha masyarakat sehingga nantinya berpotensi menjadi  ”sumber PAD  yang gemuk”  dan kebijakan yang ke dua dapat mematikan kreativitas masyarakat karena rencana usahanya  tidak berkembang secara maksimal yang disebabkan oleh pembebanan pajak dan retribusi di awal mereka mulai berusaha. 
Tingkat kejadian atas dua fenomena tersebut diatas terjadi dengan skala yang beragam di berbagai daerah yang berbeda, tergantung pada bagaimana daerah tersebut merespon danmemaknai kewenangan yang dimilikinya, yaitu apakah daerah akan lebih mementingkan sisi penerimaan dengan berusaha meningkatkan penerimaan melalui kenaikan tarif dan penganekaragaman pajak dan retribusi atau lebih memberikan prioritas pada bagaimana mengefektifkan sisi pengeluaran untuk menciptakan iklim usaha yang semakin kondusif yang selanjutnya dapat mendorong kegiatan usaha dan investasi. Berkaitan dengan hal tersebut, Mudrajad Kuncoro (2007) menegaskan bahwa pelaksanaan otonomi daerah sejak tahun 2001 justru telah memperburuk iklim investasi. Masih rendahnya pelayanan publik, kurangnya kepastian hukum, dan berbagai peraturan daerah (perda) yang tidak ‘pro-bisnis’ diidentifikasi sebagai bukti iklim bisnis yang tidak kondusif.
Meskipun kesan buruk tersebut masih  melekat dan menjadi stigma negatif praktek berotonomi daerah selama ini,   banyak juga daerah kabupaten / kota  yang telah ber revoluasi secara signifikan dalam  membenahi penyelenggaraan pemerintahannya  sehingga terwujuda dan terpelihaa iklim usaha dan investasi yang semakin kondusif melalui kebijakan dan regulasi perijinan one stop service yang semakin cepat, mudah dan murah.  
B. Pendirian BUMD sebagai solusi alternatif peningkatan PAD. 
Disamping  kedua alternatif  sebagaimana diutarakan diatas, Pemerintah Kabupaten Kota juga memiliki pilihan lain dalam mendongkrak   besaran PAD nya yakni bersama-sama dengan kemampuan Usaha Swasta  ikut menciptakan usaha sendiri baik yang dikelola oleh Dinas terkait  maupun melalui pendirian dan operasionalisasi Badan Usaha Milik Daerah /BUMD. 
Secara filosofis, pendirian usaha oleh daerah mempunyai 2 misi yang harus dijalankan secara selaras dan seimbang, yakni (1) fungsi pendapatan yang berdimensi bisnis atau mencari keuntungan dan  (2) fungsi pelayanan masayarakat yang berdimensi sosial. 
C. Deskripsi obyek dan masalah  kajian 
Dalam tulisan ini,   difokuskan pada kasus pembangunan Taman “Usman Janatin”  oleh  Pemerintah Kabupaten Purbalingga  di lahan bekas Pasar Kota Purbalingga  dimana sampai dengan bulan Maret 2011, sudah terhitung 8  (delapan) bulan sejak  selesai dibangunnya secara fisik, namun  belum dapat difungsikan operasional secara efektif.  Hal ini menjadikan proyek di tengah kota Purbalingga yang menelan dana hampir 5 milyar ini olerh banyak pihak dinilai sebagai proyek  “mangkrak”  dan telah menghiasi  pemberitaan di berbagai harian lokal baik Suara Merdeka maupun Radar Banyumas.
Kerangka pikir pembangunan Taman  “Usman Janatin” 
Taman “ Usman Janatin”  dibangun oleh Pemerintah Kabupaten Purbalingga secara multiyears   selama 2 tahun,  yakni  melalui APBD tahun  anggaran 2008 dan tahun 2009. Kegiatan ini dilandaskan pada pertimbangan filosofis   antara lain sebagai   bentuk keberpihakan Pemerintah Kabupaten kepada Usaha berskala rakyat berupa pasar tradisional  sehingga lahan bekas pasar tidak dibangun sebagai lokasi pasar modern,  penyediaan ruang publik kepada masyarakat luas berupa Taman dan Ruang Terbuka Hijau, penyediaan sarana hiburan rakyat dan pembinaan olah raga  serta harapannya untuk sedikitnya memberikan pemasukan kepada daerah berupa pajak dan retribusi dari sektor pariwisata.
Dengan demikian, Taman yang menggunakan nama Pahlawan nasional yang gugur di Singapura  dan merupakan Putra Asli  Purbalingga tersebut; disamping diarahkan untuk menciptakan keindahan kota dan fungsi sosial lainnya, juga diharapkan dapat sebagai sumber pemasukan baru bagi peningkatan PAD.  Sejalan dengan maksud tersebut, areal Taman dibagi ke dalam tiga clusters  yakni ruang terbuka hijau berupa taman yang terbuka umum, Pusat Jajan serba Selera /PUJASERA, Ruang Karaoke Keluarga dan Pusat kebugaran   dan senam  / fitness center  serta penyiapan lahan yang diprioritaskan untuk rencana pembangunan hotel kelas menangah dan atas guna mendukung pariwisata Purbalingga.  Kawasan puja sera telah didesain secara khusus untuk memasarkan produk unggulan kuliner Purbalingga serta Pusat informasi pariwisata daerah yang diharapkan dapat semakin meramaikan wisata Purbalingga yangsemakin dikenal secara regional dan bahkan nasional.  
Dalam perkembangannya, pemanfaatan aset  tersebut oleh Pemerintah kabupaten sesuai dengan maksud dan tujuannya tidak berarti tanpa hambatan.  Disamping permasalahan “manajemen usaha”  yang memang tidak diakui  kinerjanya apa bila  dilakukan oleh  jajaran Dinas terkait ataupun BUMD; pendayagunaan ruang karaoke keluarga juga tidak sepenuhnya “direstui”   oleh ulama setempat melalui Majelis Ulama Indonesia /MUI Kabupaten Purbalingga. Hal ini karena adanya kekawatiran bahwa lokasi tempat hiburan tersebut dapat menjadi sumber maksiat   yang justru disediakan oleh Pemerintah daerah yang semestinya “anti maksiat”  sesuai visi pemerintahan yang telah digariskan; yang antara lain  mencita-citakan  masyarakat yang semakin sejahtera dan  berkeadilan serta berakhlakul  karimah /berakhlak mulia.  
Dalam situasi yang demikian, salah satu pilihan yang ditempuh adalah mengupayakan pendayagunaan fasilitas dimaksud untuk dikelola pihak ketiga  melalui kerja  sama  pengelolaan maupun  sewa menyewa.  Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17  tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah.  Di dalam implementasinya, penerapan ketentuan ini tidak semudah membalik telapak  tangan. Ketentuan ini mengamanatkan agar  pemilihan Pihak ketiga yang akan ditetapkan sebagai mitra kerja sama oleh Pemerintah Daerah, harus dilaksanakan melalui mekanime lelang. Kondisi ini diakui semakin menyulitkan posisi Pemerintah daerah  di tengah sepinya peminat kerja sama   pengelolaan  oleh mitra  yang dianggap memiliki kompetensi serta sanggup memberikan kontribusi PAD  sesuai ketentuan normatif dan target-target pendapatan yang diharapkan oleh Pemerintah daerah. 
D. Kesimpulan  
1. Pelaksanaan pembangunan Taman “Usman Janatin” oleh Pemerintah Kabupaten Purbalingga sudah mencerminkan kebijakan yang berlandaskan pada prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik / good governance.   
2. Misi yang dibebankan pada pembangunan taman tersebut meliputi fungsi pelayanan yang berdimensi sosial dan “fungsi kewirausahaan” pemerintah daerah dalam bentuk usaha  hiburan  sekaligus upaya promosi produk kuliner dan  dukungan terhadap sektor pariwisata yang  secara nyata mulai berperan sebagai pengungkit perekonomian  daerah.
3. Dalam praktek pemanfaatannya, masih terbentur pada regulasi tata cara pengelolaan yang “ relatif sulit”   dan belum dapat direspon secara optimal oleh para pelaku usaha di bidang pariwisata dan hiburan serta  adanya kekawatiran  yang berlebihan dari para tokoh agama setempat  berupa potensinya sebagai sumber maksiat yang bertentangan dengan norma sosial dan agama.
4. Jika silang pendapat   dan tata cara pemanfaatan  yang relatif sulit  tidak dapat diatasi atau diselesaikan secara bijak  dan proporsional /win-win solution maka taman  yang pembangunannya dibiayai dengan dana cukup besar tersebut  tidak bisa didaya gunakan secara optimal   sehingga tidak membawa kemanfaatan yang berarti baik baik secara ekonomi maupun sosial.  
E. Saran 
1. Perlunya kerja keras dari jajaran aparatur terkait untuk mensosialisasikan atau menawarkan fasilitas taman tersebut agar bisa dikelola secara profesional oleh Mitra usaha swasta yamg memiliki kompetensi dan kemampuan kuat. Meskipun tidak mudah, harapannya adalah agar misi sosial dan misi ekonomi yang telah dicanangkan dapat berjalan seiring.
2. Perlu adanya pendekatan yang lebih intensif dengan tokoh agama dan tokoh masyarakat setempat agar efek atau dampak pariwisata dapat ditekan pada angka yang minimal.   Secara   praksis dunia hiburan dan senang-senang memang tidak bisa dijauhkan dari unsur-unsur  yang bertentangan dengan norma- agama. Namun demikian, setidaknya dapat dijaga   agar berbagai kepentingan dapat berjalan seiring  tanopa dominasi salah satu unsurnya
3. Perlunya dilaksanakan kajian untuk merubah pemanfaatan gedung untuk keperluan diluar fitness center dan karaoke  misalnya untuk ruang rapat dan tempat resepsi atau gedung bioskop sehingga lebih bisa menekan dampak ikutan sebagaimana yang dikhawatirkan para ulama 
4. Apa bila pengelolaan oleh pihak ketiga tidak dimungkinkan atau dinilai tidak efisien, maka tidak ada salahnya  untuk dicoba dikelola oleh salah satu Dinas terkait  yang membidangi.
5. Pemerintah Kabupaten Purbalingga bisa belajar dari Pemerintah Kabupaten Banyumas, seperti mereka meneglola tamankota “andeng pangrenan” Puwakerta.  
-----------------selesai -----------------
Jumat, 08 April 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
 
 

 
 Postingan
Postingan
 
 
.jpg) 
 

 
 
 
 
 
.jpg) 
.jpg) 
 
 

0 komentar:
Posting Komentar